sejarah singkat tentang daerah istimewa Aceh
18.39
Aceh (/ˈɑːtʃeɪ/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia.
Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat
di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini
sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di
India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala
di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah
timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di
Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan
termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik
dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah
Belandadan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi
lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif(menjunjung tinggi nilai
agama).[9] Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan
mereka hidup sesuaisyariah Islam.[10] Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain
di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena
alasansejarah.[11]
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi
dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang
terbesar di dunia.[9] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di
sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen
di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi
Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunamimenerjang sebagian besar
pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat
bencana tersebut.[12] Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai
antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Asal nama
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959),
kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam
(2001–2009), dan terakhirAceh (2009–sekarang).[13] Sebelumnya, nama Aceh biasa
ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Jaman prasejarah
Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum, hal ini
dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai
peninggalan zaman tersebut di kabupatenAceh Tamiang. Selain itu pada situs lain
yang dinamakan dengan Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta
berhasil ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak
Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan
sederhana lainnya. Selain di kabupaten Aceh Tamiang, peninggalan kehidupan
prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk
Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar.
Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia
prasejarah yang telah berlangsung disini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun
yang lalu.
Jaman kerajaan
Jaman kerajaan Hindu-Buddha
Sebagaimana
daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa
berkembangnya agama Hindu dan Budha yang datang dari daratan benua Asia. Pada
masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan kecil yang
berdasarkan agama tersebut misalnyaIndrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa
semuanya di Aceh Besar.Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari
sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah
dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan[14] sebagai khalifah
ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.
Terkait
Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut
Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam
yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan
Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.[15]
Sebagian
lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai
dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis
buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang
dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama
(610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan
masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun.
Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah
secara terang-terangan.[16]
Tetapi
sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama
bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225
Hijriyyah.[17]
Masuknya Islam
Kesultanan Aceh
Kesultanan
Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad
ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota
Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama
karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Aceh
Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam
(Sulthan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman
tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak.
Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat
pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan
Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16,
pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris)
dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di
Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun
1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan
wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh
adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania
membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis
dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
Perang
Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873,
dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak
3.198, termasuk 168 perwira KNIL[18].
Setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah
yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun1883, namun lagi-lagi gagal, dan
pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut
Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang
Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan
Aceh[19].
Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari
Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak
pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka
diarahkan kepada paraulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur
Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan
M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah
sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh
Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang
masuk dan menggantikan peran belanda.
Perang
Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah
penjajahan Nusantara.
Jaman penjajahan
Bangkitnya nasionalisme
Bangkitnya
nasionalisme
Replika
pesawat Dakota RI-001 Seulawah sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang,
Banda Aceh
Sementara
pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerja sama dengan
wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan
nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis
Indonesia. SaatVolksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai
wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh
gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat
Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia,
tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk
membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940.
Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942
kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan
mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya
Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya
Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan
menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernapaskan Islam. Rakyat
pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan
Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh
khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat
Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah
matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan
akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di
seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang
dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat
Lhokseumawe.
Pasca
kemerdekaan Indonesia
Teungku
Muhammad Daud Beureu'eh, ulama pemimpin perjuangan DI/TII Aceh
Sejak
tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah
berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15
Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan
damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung
selama hampir 30 tahun.
Pada 26
Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda
sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan
kematian ratusan ribu jiwa.
Di
samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di
bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan
membentuk provinsi-provinsi baru.
0 komentar