Pesan Spiritual Ibadah Arafah
19.34
Sahabat dunia islam, Situs paling pokok dari rangkaian ritus-ritus
Haji adalah wukuf di Padang Arafah. Wukuf di Arafah dilihat dari konteks rukun
haji merupakan rangkaian kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan dalam situasi
dan kondisi sakit seperti apa pun. Karena itu, untuk mereka yang sakit parah
sekalipun dilakukan safari wukuf. Sebagaimana Rasul SAW bersabda, “Al-hajju
‘arafah”, Haji itu Arafah.
Kata Arafah secara bahasa berasal
dari kata ‘arafa yang berarti mengenal, mengenali, atau mengetahui. Arafah
dapat dipahami sebagai momen mengenal jati diri masing-masing, mengenal dari
mana ia berasal dan hendak ke mana ia kembali.
Pengenalan terhadap jati diri
manusia sangat penting agar sisa-sisa perjalanan hidup yang tidak gratis,
melainkan harus dipertanggungjawabkan ini, dapat terkontrol. Tanpa pengenalan
jati diri, seseorang sering kali menjadikan dirinya manusia yang sombong dan egois
dengan penemuan jalan hidupnya.
Perjalanan haji menuju Arafah
menandai perjalanan untuk mencairkan kebekuan hati, karena di Arafah semua
jamaah haji menjadi orang terbuka atas dosa-dosa yang selama ini disembunyikan.
Di hadapan Allah SWT, setiap jamaah haji harus jujur bermohon agar semua
peristiwa masa lalu terkubur dan membuka lembaran kehidupan baru, lembaran
ketakwaan. Itulah makna perenungan wukuf haji di Padang Arafah.
Latihan mengenal jati diri lewat
media wukuf di Arafah harus bisa mengantarkan jamaah haji kepada perubahan
sikap dan perilaku, setiap saat mengenai makna hidup. Melalui momentum
perenungan walau sejenak secara akseleratif seluruh perjalanan hidup dapat terbaca,
yang baikkah atau yang burukkah.
Sering kali manusia sulit mengajak
hati untuk mampu berdialog dengan diri, karena tertutupi hawa nafsu dan kemauan
nafsu syaithaniyah. Namun, semua orang saat wukuf di Arafah kebekuan hawa nafsu
itu bisa mencair dengan mudah karena rahmat Allah SWT.
Cobalah sesekali kita merenungkan
profesi kita, merenungkan sikap kita terhadap bawahan, merenungkan sikap kita
terhadap hak-hak orang lain, terutama kaum lemah. Benarkah kita telah menjadi
pelayan masyarakat yang baik, atau kita hanya bekerja mencari upah, bahkan
memeras darah orang-orang lemah. Betapa banyak hak orang lain terabaikan,
betapa banyak hak rakyat tersembunyikan.
Perenungan seperti di atas, sangat
penting untuk mengukur kembali apakah benar kita telah melaksanakan wukuf di
Arafah. Apakah kita benar telah melepaskan pakaian berjahit dengan pakaian
ihram, simbol ditinggalkannya segala sesuatu yang diharamkan Allah SWT.
Sejarah kehidupan manusia sejak
dahulu membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, dan
pengaruh di masyarakat tidak mudah tersentuh oleh hukum dan keadilan. Mereka
sering kali karena kerapuhan imannya berbuat sewenang-wenang, tamak (serakah),
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, dan meremahkan keluhuran budi. Sifat-sifat
tersebut, sering kali membuat hati menjadi keras dan kering, bila sesekali
tidak dicuci dalam wadah perenungan wukuf di Arafah.
Inilah pentingnya peristiwa
Arafah, dengan ibadah wukuf sebagai rukun haji yang tidak boleh tidak harus
dilakukan oleh mereka yang ingin menyempurnakan keislamannya. Wallahu a’lam
bisshawab.
Diambil dari rubrik khasanah
republika.co.id dan http://www.duniaislam.org/
0 komentar